Cikal Bakal dari kerajaan Lima Laras tidak terlepas dari
Kesultanan Siak Sri Indapura di Riau. Kerajaan Lima Laras diperkirakan sudah
berdiri sejak abad ke 16, namun sering berpindah-pindah dan belum memiliki
istana permanen. Pada tahun 1912, Datuk Matyoeda, Raja Kerajaan Lima Laras XII
berniat untuk membangun istana di Batu bara yang dikenal sebagai daerah
strategis untuk perdagangan (karena berdekatan dengan Tanjung Balai yang
dikuasai oleh kerajaan batu bara).

Datuk Matyoeda berniat, jika dagangan terakhirnya selamat,
hasilnya akan digunakan membangun istana. Rupanya kapalnya kembali dengan selamat.
Maka dia kemudian membangun istana Lima Laras.
Namun, Datuk Matyoeda sendiri hanya sebentar saja dapat menikmati
istana tersebut. Ia bersama keluarga dan unsur pemerintahannya mendiami
istana sejak tahun 1917 dan wafatnya pada tahun 1919, sekaligus penanda
berakhirnya masa kejayaan kerajaan Lima Laras.
Keluarga Kerajaan Lima Laras pun harus terusir dari Istana pada
tahun 1942 saat tentara Jepang menundukkan daerah Asahan. Dan pada saat itu
pula, Kakek dari sepupu saya, yang merupakan cucu dari Datuk Matyoeda keluar
dari Istana.
Bangunan Istana Lima Laras
Istana Lima Laras memiliki empat anjungan yang masing-masing
menghadap ke empat arah mata angin. Dua buah meriam berada di depan
bangunannya. Arsitektur melayu sangat kental, terutama pada atap dan kisi-kisi
rumah panggung tersebut. Lantai bawah dan balairungnya terbuat dari Beton
sementara lantai dua, tempat keluarga istana tinggal, hanya berlantaikan
kayu. Terdapat beberapa kamar di lantai dua dan tiga.
Saya beruntung dapat masuk ke dalam istana di lantai dua karena
berkunjung bersama para keturunan Raja Lima Laras. Namun, saya tidak bisa
menemukan apapun di dalam istana untuk saya dokumentasikan. Seluruh ruangan
disini kosong dan telah diamankan oleh salah seorang ahli waris kerajaan yang
lain.
Jangan membandingkan istana lima laras dengan istana maimun yang
megah dan penuh dengan barang-barang antik yang mahal. Istana lima laras
sendiri kondisinya sangat tidak terawat. Bangunan ber cat kayu warna hijau yang
dominan ini sudah diambang kehancuran. Kayu-kayu bangunan sudah, beberapa anak
tangga sudah hilang dan semak-semak setinggi orang dewasa menghiasi pekarangan.
Istana Lima Laras sendiri berada di sebuah perkampungan nelayan
kecil. Akses kendaraan agak sulit karena jembatan yang menghubungkan jalan
ke depan istana terputus. Saya harus berjalan kaki di jembatan kayu
(satu-satunya akses yang ada) beberapa meter dari lokasi istana.
Kerajaan Sultan Asahan dan pemerintahan Datuk-Datuk
di wilayah Batu Baratetap diakui oleh Belanda, namun tidak berkuasa penuh
sebagaimanasebelumnya. Wilayah pemerintahan Kesultanan dibagi atas Distrik dan
Onder Distrik yaitu:
1. Distrik Tanjung Balai dan Onder Distrik Sungai Kepayang.
2. Distrik Kisaran.
3. Distrik Bandar Pulau dan Onder Distrik Bandar Pasir Mandoge.
Sedangkan wilayah pemerintahan Datuk-datuk di Batu Bara dibagi menjadi wilayah
Self Bestuur yaitu:
1. Self Bestuur Indrapura
2. Self Bestuur Lima Puluh
3. Self Bestuur Pesisir
4. Self Bestuur Suku Dua ( Bogak dan Lima Laras ).
Pemerintahan Belanda berhasil ditundukkan Jepang (tanggal 13 Maret 1942), sejak saat itu Pemerintahan Fasisme Jepang disusun menggantikan Pemerintahan Belanda. Pemerintahan Fasisme Jepang dipimpin oleh Letnan T. Jamada dengan struktur pemerintahan Belanda yaitu Asahan Bunsyu dan bawahannya Fuku Bunsyu Batu bara. Selain itu, wilayah yang lebih kecil di bagi menjadi Distrik yaitu Distrik Tanjung Balai, Kisaran, Bandar Pulau, Pulau Rakyat dan Sei Kepayang. Pemerintahan Fasisme Jepang berakhir pada tanggal 14 Agustus 1945 dan 17 Agustus 1945 Kemerdekaan Negara Republik Indonesia diproklamirkan. Sesuai dengan perkembanganKetatanegaraan Republik Indonesia, maka berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1945, Komite Nasional Indonesia Wilayah batu bara di bentuk pada bulan September 2003. Pada saat itu pemerintahan yang di pegang oleh Jepang sudah tidak ada lagi,
tapi pemerintahan Kesultanan dan pemerintahan Fuku
Bunsyu di Batu Bara masih tetap ada. Tanggal 15 Maret 1946, berlaku struktur
pemerintahan Republik Indonesia di Asahan dan wilayah Asahan di pimpin oleh
Abdullah Eteng sebagai kepala wilayah dan Sori Harahap sebagai wakil kepala
wilayah, sedangkan wilayah Asahan dibagi atas 5 (lima) Kewedanan,
yaitu:
1. Kewedanan Tanjung Balai
2. Kewedanan Kisaran
3. Kewedanan Batubara Utara
4. Kewedanan Batubara Selatan
5. Kewedanan Bandar Pulau.
Pada pertengahan tahun 2007 berdasarkan Undang-undang RI Nomor 5 tahun 2007
tanggal 15 Juni 2007 tentang pembentukan Kabupaten Batu Bara, Kabupaten Asahan
dimekarkan menjadi dua Kabupaten yaitu Asahan dan Batu Bara. Wilayah Asahan
terdiri atas 13 kecamatan sedangkan Batu Bara 7 kecamatan, yaitu :
1. Kecamatan Sei Balai
2. Kecamatan Tanjung Tiram
3. Kecamatan Talawi
4. Kecamatan Lima Puluh
5. Kecamatan Air Putih
6. Kecamatan Sei Suka
7. Kecamatan Medang Deras
Istana Lima Laras
adalah sejarah yang terlupakan. Namanya kalah tenar ketimbang Istana Maimun di
Medan. Walau tidak kokoh benar, Istana Lima Laras masih berdiri di Desa Lima
Laras, Kecamatan Tanjung Tiram, Kabupaten Asahan. Sekitar 136 kilometer sebelah
tenggara kota Medan.
Sepintas dari
depan terlihat warna hijau bangunan istana sudah kusam. Istana berlantai empat
yang dibangun tahun 1912 itu sudah lapuk dimakan zaman dan tak menarik lagi
dikunjungi. Mungkin karena kondisinya itu Juga maka dalam brosur pariwisata
Sumatera Utara, istana Lima Laras tidak tercantum lagi sebagai salah satu objek
wisata.
Istana yang
berada di atas tanah seluas 102 x 98 meter ini dibangun Datuk Matyoeda, Raja
Kerajaan Lima Laras XII, putra tertua raja sebelumnya, Datuk H Djafar gelar
Raja Sri Indra. Semula istana ini bernama istana Niat, karena rencana
pembangunannya berdasarkan niat Matyoeda untuk mendirikan sebuah istana untuk
kerajaan itu.
Sebelumnya pusat pemerintahan kerajaan Lima Laras yang tunduk pada Kesultanan Siak di Riau dan diperkirakan sudah ada sejak abad XVI, sering berpindah‑pindah karena belum punya istana permanen.
Sebelumnya pusat pemerintahan kerajaan Lima Laras yang tunduk pada Kesultanan Siak di Riau dan diperkirakan sudah ada sejak abad XVI, sering berpindah‑pindah karena belum punya istana permanen.
Niat Datuk
Matyoeda itu sendiri bermula dari keputusan Belanda yang melarang para raja
berdagang. Tidak jelas alasan larangan ini. Matyoeda yang kerap berdagang ke Malaysia,
Singapura dan Thailand dan memiliki kapal besar tentu saja gusar. Apalagi pada
saat keputusan keluar, beberapa armada dagangnya sedang berlayar ke Malaysia. Dengan
adanya larangan ini, nasib kapal bersama isinya itu tidak terjamin lagi. Bisa
disita Belanda setibanya kembali di Asahan, atau bisa tetap tinggal di Malaysia
yang dulu masih bernama Malaka.
Sebab itulah
Matyoeda berniat, jika dagangan terakhirnya selamat, hasilnya akan digunakan
membangun istana. Rupanya kapalnya kembali dengan selamat. Maka dia kemudian
membangun istana itu dengan biaya 150.000 gulden dan memimpin langsung
pembangunan istana dengan mendatangkan 80 orang tenaga ahli dari China dan
Pulau Penang, Malaysia serta sejumlah tukang dari sekitar lokasi pembangunan
istana.
Matyoeda bersama
keluarga dan unsur pemerintahannya mendiami istana sejak tahun 1917, walaupun
pada saat itu istana masih belum rampung. Waktu wafatnya pada 7 Juni 1919,
sekaligus penanda berakhirnya masa kejayaan kerajaan Lima Laras. Tahun 1942
tentara Jepang masuk Asahan dan menguasai istana. Baru pada masa Agresi Militer
II, istana kembali ke tangan Republik dan ditempati Angkatan Laut Republik
Indonesia di bawah pimpinan Mayor Dahrif Nasution.
Empat Anjungan
Empat Anjungan
Istana yang
menghadap selatan itu memiliki empat anjungan di ke empat arah mata angin. Di
depannya ada bangunan kecil tempat dua meriam berada. Hampir keseluruhan
bangunan berarsitektur Melayu, terutama pada model atap dan kisi‑kisinya.
Tetapi ada juga beberapa bagian istana berornamen China. Kecuali batu bata,
bahan bangunan seperti kaca untuk jendela dan pintu didatangkan dari luar
negeri.
Lantai pertama
yang terbuat dari beton, dilengkapi balai rung atau tempat bermusyawarah. Di
lantai dua dan tiga terdapat kamar‑kamar dengan ukuran sekitar 6 x 5 meter.
Total, istana ini memiliki 28 pintu dan 66 pasang jendela. Untuk naik ke
tingkat dua dan tiga, selain tangga biasa di bagian luar, ada tangga berputar
dengan 27 anak tangga dari bagian dalam.
Jika berkunjung
ke istana itu sekarang ini, jangan bayangkan masih bisa melihat tangga putar
itu masih utuh. Beberapa anak tangga sudah hilang dan bagian tengah telah putus
karena lapuk. Jangan berharap juga bisa melihat bekas singgasana atau peralatan
tanda kemegahan kerajaan itu pada masa lampau, sebab sebagian besar
perlengkapan istana sudah hancur atau raib.
Datuk Muhammad
Azminsyah (62), salah seorang cucu Datuk Matyoeda, beruntung masih menyimpan
beberapa barang pusaka perlengkapan istana, seperti tempayan besar dengan
ukiran naga, sejumlah barang pecah‑belah, dua buah pedang dan sebuah tombak.
Barang itu disimpan di rumahnya yang berjarak sekitar 100 meter dari istana.
Istana Lima Laras
sekarang ini memang tengah dalam tahap perbaikan. Lantai satu dan dua bagian
belakang istana sudah diperbaiki dan dicat. Perbaikan kecil itu sifatnya hanya
menunda kehancuran, sebab bangunan utama di bagian depan masih berantakan.
Dinding‑dinding sudah bercopotan papannya, demikian juga atap dan lantai.
Beberapa tiang penyangga yang terbuat dari kayu pun bernasib serupa.
Menurut Maddin
(70) yang sehari‑hari menjaga istana tersebut, biaya perbaikan itu berasal dari
pihak keluarga. “Bantuan pemerintah sudah lama tidak ada. Kalau hari‑hari libur
seperti lebaran ini, ada tambahan biaya perbaikan dari kutipan masuk Rp 500 per
orang.” kata Maddin yang menyatakan bisa mengumpulkan Rp 30 ribu pada lebaran
kedua.
Harapan pemasukan
memang hanya dari kutipan pengunjung. Celakanya. pengunjung yang hanya datang
pada saat lebaran saja, itu pun didominasi anak‑anak sekitar kampung. Selain
masalah renovasi, jalan masuk ke lokasi juga rusak dan kumuhnya perkampungan
bukan pemandangan yang layak untuk dijual ke turis domestik, apalagi asing.
Renovasi terakhir
yang dilakukan pemerintah hanya tahun 1980/1981 dengan biaya Rp 234 juta, saat
masih dikelola Kanwil Depdikbud Sumut. Setelah diserahkan kepada Pemda Asahan
sejak 14 September 1990, praktis tidak ada perbaikan apapun lagi. Padahal upaya
melestarikan istana sangat penting mengingat sejarah dan nilai budaya yang
dikandungnya.
Istana Lima Laras
tak lagi dihuni. Malam hari, tak ada penerangan berarti. Halaman istana juga
ditumbuhi semak yang tingginya bisa mencapai satu meter lebih. Karena
kondisinya itu, makanya pernah muncul di surat kabar berita yang
memprihatinkan, istana Lima Laras menjadi tempat bermain judi. Tragis!
Sumber: - http://kbaa.blogspot.com/2009/06/istana-niat-lima-laras.html
- Wikipedia Indonesia
- Buku batu bara
Diperbaiki
oleh firdaus
0 komentar:
Posting Komentar