Minggu, 16 Maret 2014

Sejarah Istana Kerajaan Lima Laras




Cikal Bakal dari kerajaan Lima Laras tidak terlepas dari Kesultanan Siak Sri Indapura di Riau. Kerajaan Lima Laras diperkirakan sudah berdiri sejak abad ke 16, namun sering berpindah-pindah dan belum memiliki istana permanen. Pada tahun 1912, Datuk Matyoeda, Raja Kerajaan Lima Laras XII berniat untuk membangun istana di Batu bara yang dikenal sebagai daerah strategis untuk perdagangan (karena berdekatan dengan Tanjung Balai yang dikuasai oleh kerajaan batu bara).
Pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu melarang para raja untuk berdagang . Tidak jelas alasan larangan tersebut, namun asumsi saya karena tindakan monopoli oleh VOC.  Datuk Matyoeda sendiri sering berdagang ke Malaysia (Malaka) , Singapura dan Thailand. Saat larangan tersebut diberlakukan, beberapa armada kapal beserta isinya disita oleh Belanda setibanya kembali di Asahan.
Datuk Matyoeda berniat, jika dagangan terakhirnya selamat, hasilnya akan digunakan membangun istana. Rupanya kapalnya kembali dengan selamat. Maka dia kemudian membangun istana Lima Laras.
Namun, Datuk Matyoeda sendiri hanya sebentar saja dapat menikmati istana tersebut. Ia  bersama keluarga dan unsur pemerintahannya mendiami istana sejak tahun 1917 dan wafatnya pada tahun 1919, sekaligus penanda berakhirnya masa kejayaan kerajaan Lima Laras.
Keluarga Kerajaan Lima Laras pun harus terusir dari Istana pada tahun 1942 saat tentara Jepang menundukkan daerah Asahan. Dan pada saat itu pula, Kakek dari sepupu saya, yang merupakan cucu dari Datuk Matyoeda keluar dari Istana.
Bangunan Istana Lima Laras
Istana Lima Laras memiliki empat anjungan yang masing-masing menghadap ke empat arah mata angin. Dua buah meriam berada di depan bangunannya. Arsitektur melayu sangat kental, terutama pada atap dan kisi-kisi rumah panggung tersebut. Lantai bawah dan balairungnya terbuat dari Beton sementara lantai dua, tempat keluarga istana tinggal, hanya berlantaikan kayu.  Terdapat beberapa kamar di lantai dua dan tiga.
Saya beruntung dapat masuk ke dalam istana di lantai dua karena berkunjung bersama para keturunan Raja Lima Laras. Namun, saya tidak bisa menemukan apapun di dalam istana untuk saya dokumentasikan. Seluruh ruangan disini kosong dan telah diamankan oleh salah seorang ahli waris kerajaan yang lain.
Jangan membandingkan istana lima laras dengan istana maimun yang megah dan penuh dengan barang-barang antik yang mahal. Istana lima laras sendiri kondisinya sangat tidak terawat. Bangunan ber cat kayu warna hijau yang dominan ini sudah diambang kehancuran. Kayu-kayu bangunan sudah, beberapa anak tangga sudah hilang dan semak-semak setinggi orang dewasa menghiasi pekarangan.
Istana Lima Laras sendiri berada di sebuah perkampungan nelayan kecil. Akses kendaraan agak sulit karena  jembatan yang menghubungkan jalan ke depan istana terputus.  Saya harus berjalan kaki di jembatan  kayu (satu-satunya akses yang ada) beberapa meter dari  lokasi istana.

Kerajaan Sultan Asahan dan pemerintahan Datuk-Datuk di wilayah Batu Baratetap diakui oleh Belanda, namun tidak berkuasa penuh sebagaimanasebelumnya. Wilayah pemerintahan Kesultanan dibagi atas Distrik dan Onder Distrik yaitu:
1. Distrik Tanjung Balai dan Onder Distrik Sungai Kepayang.
2. Distrik Kisaran.
3. Distrik Bandar Pulau dan Onder Distrik Bandar Pasir Mandoge.

Sedangkan wilayah pemerintahan Datuk-datuk di Batu Bara dibagi menjadi wilayah Self Bestuur yaitu:
1. Self Bestuur Indrapura
2. Self Bestuur Lima Puluh
3. Self Bestuur Pesisir
4. Self Bestuur Suku Dua ( Bogak dan Lima Laras ).

Pemerintahan Belanda berhasil ditundukkan Jepang (tanggal 13 Maret 1942), sejak saat itu Pemerintahan Fasisme Jepang disusun menggantikan Pemerintahan Belanda. Pemerintahan Fasisme Jepang dipimpin oleh Letnan T. Jamada dengan struktur pemerintahan Belanda yaitu Asahan Bunsyu dan bawahannya Fuku Bunsyu Batu bara. Selain itu, wilayah yang lebih kecil di bagi menjadi Distrik yaitu Distrik Tanjung Balai, Kisaran, Bandar Pulau, Pulau Rakyat dan Sei Kepayang. Pemerintahan Fasisme Jepang berakhir pada tanggal 14 Agustus 1945 dan 17 Agustus 1945 Kemerdekaan Negara Republik Indonesia diproklamirkan. Sesuai dengan perkembanganKetatanegaraan Republik Indonesia, maka berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1945, Komite Nasional Indonesia Wilayah batu bara di bentuk pada bulan September 2003. Pada saat itu pemerintahan yang di pegang oleh Jepang sudah tidak ada lagi,

tapi pemerintahan Kesultanan dan pemerintahan Fuku Bunsyu di Batu Bara masih tetap ada. Tanggal 15 Maret 1946, berlaku struktur pemerintahan Republik Indonesia di Asahan dan wilayah Asahan di pimpin oleh Abdullah Eteng sebagai kepala wilayah dan Sori Harahap sebagai wakil kepala wilayah, sedangkan wilayah Asahan dibagi atas 5 (lima) Kewedanan,
yaitu:
1. Kewedanan Tanjung Balai
2. Kewedanan Kisaran
3. Kewedanan Batubara Utara
4. Kewedanan Batubara Selatan
5. Kewedanan Bandar Pulau.

Pada pertengahan tahun 2007 berdasarkan Undang-undang RI Nomor 5 tahun 2007 tanggal 15 Juni 2007 tentang pembentukan Kabupaten Batu Bara, Kabupaten Asahan dimekarkan menjadi dua Kabupaten yaitu Asahan dan Batu Bara. Wilayah Asahan terdiri atas 13 kecamatan sedangkan Batu Bara 7 kecamatan, yaitu :
1. Kecamatan Sei Balai
2. Kecamatan Tanjung Tiram
3. Kecamatan Talawi
4. Kecamatan Lima Puluh
5. Kecamatan Air Putih
6. Kecamatan Sei Suka
7. Kecamatan Medang Deras


Istana Lima Laras adalah sejarah yang terlupakan. Namanya kalah tenar ketimbang Istana Maimun di Medan. Walau tidak kokoh benar, Istana Lima Laras masih berdiri di Desa Lima Laras, Kecamatan Tanjung Tiram, Kabupaten Asahan. Sekitar 136 kilometer sebelah tenggara kota Medan.
Sepintas dari depan terlihat warna hijau bangunan istana sudah kusam. Istana berlantai empat yang dibangun tahun 1912 itu sudah lapuk dimakan zaman dan tak menarik lagi dikunjungi. Mungkin karena kondisinya itu Juga maka dalam brosur pariwisata Sumatera Utara, istana Lima Laras tidak tercantum lagi sebagai salah satu objek wisata.
Istana yang berada di atas tanah seluas 102 x 98 meter ini dibangun Datuk Matyoeda, Raja Kerajaan Lima Laras XII, putra tertua raja sebelumnya, Datuk H Djafar gelar Raja Sri Indra. Semula istana ini bernama istana Niat, karena rencana pembangunannya berdasarkan niat Matyoeda untuk mendirikan sebuah istana untuk kerajaan itu.
Sebelumnya pusat pemerintahan kerajaan Lima Laras yang tunduk pada Kesultanan Siak di Riau dan diperkirakan sudah ada sejak abad XVI, sering berpindah‑pindah karena belum punya istana permanen.
Niat Datuk Matyoeda itu sendiri bermula dari keputusan Belanda yang melarang para raja berdagang. Tidak jelas alasan larangan ini. Matyoeda yang kerap berdagang ke Malaysia, Singapura dan Thailand dan memiliki kapal besar tentu saja gusar. Apalagi pada saat keputusan keluar, beberapa armada dagangnya sedang berlayar ke Malaysia. Dengan adanya larangan ini, nasib kapal bersama isinya itu tidak terjamin lagi. Bisa disita Belanda setibanya kembali di Asahan, atau bisa tetap tinggal di Malaysia yang dulu masih bernama Malaka.
Sebab itulah Matyoeda berniat, jika dagangan terakhirnya selamat, hasilnya akan digunakan membangun istana. Rupanya kapalnya kembali dengan selamat. Maka dia kemudian membangun istana itu dengan biaya 150.000 gulden dan memimpin langsung pembangunan istana dengan mendatangkan 80 orang tenaga ahli dari China dan Pulau Penang, Malaysia serta sejumlah tukang dari sekitar lokasi pembangunan istana.
Matyoeda bersama keluarga dan unsur pemerintahannya mendiami istana sejak tahun 1917, walaupun pada saat itu istana masih belum rampung. Waktu wafatnya pada 7 Juni 1919, sekaligus penanda berakhirnya masa kejayaan kerajaan Lima Laras. Tahun 1942 tentara Jepang masuk Asahan dan menguasai istana. Baru pada masa Agresi Militer II, istana kembali ke tangan Republik dan ditempati Angkatan Laut Republik Indonesia di bawah pimpinan Mayor Dahrif Nasution.
Empat Anjungan
Istana yang menghadap selatan itu memiliki empat anjungan di ke empat arah mata angin. Di depannya ada bangunan kecil tempat dua meriam berada. Ham­pir keseluruhan bangunan berarsitektur Melayu, terutama pada model atap dan kisi‑kisinya. Tetapi ada juga beberapa bagian istana berornamen China. Kecuali batu bata, bahan bangunan seperti kaca untuk jendela dan pintu didatangkan dari luar negeri.
Lantai pertama yang terbuat dari beton, dilengkapi balai rung atau tempat bermusyawarah. Di lantai dua dan tiga terdapat kamar‑kamar dengan ukuran sekitar 6 x 5 meter. Total, istana ini memiliki 28 pintu dan 66 pasang jendela. Untuk naik ke tingkat dua dan tiga, selain tangga biasa di bagian luar, ada tangga berputar dengan 27 anak tangga dari bagian dalam.
Jika berkunjung ke istana itu sekarang ini, jangan bayangkan masih bisa melihat tangga putar itu masih utuh. Beberapa anak tangga sudah hilang dan bagian tengah telah putus karena lapuk. Jangan berharap juga bisa melihat bekas singgasana atau peralatan tanda kemegahan kerajaan itu pada masa lampau, sebab sebagian besar perlengkapan istana sudah hancur atau raib.
Datuk Muhammad Azminsyah (62), salah seorang cucu Datuk Matyoeda, beruntung masih menyimpan beberapa barang pusaka perlengkapan istana, seperti tempayan besar dengan ukiran naga, sejumlah barang pecah‑belah, dua buah pedang dan sebuah tombak. Barang itu disimpan di rumahnya yang berjarak sekitar 100 meter dari istana.
Istana Lima Laras sekarang ini memang tengah dalam tahap perbaikan. Lantai satu dan dua bagian belakang istana sudah diperbaiki dan dicat. Perbaikan kecil itu sifatnya hanya menunda kehancuran, sebab bangunan utama di bagian depan masih berantakan. Dinding‑dinding sudah bercopotan papannya, demikian juga atap dan lantai. Beberapa tiang penyangga yang terbuat dari kayu pun bernasib serupa.
Menurut Maddin (70) yang sehari‑hari menjaga istana tersebut, biaya perbaikan itu berasal dari pihak keluarga. “Bantuan pemerintah sudah lama tidak ada. Kalau hari‑hari libur seperti lebaran ini, ada tambahan biaya perbaikan dari kutipan masuk Rp 500 per orang.” kata Maddin yang menyatakan bisa mengumpulkan Rp 30 ribu pada lebaran kedua.
Harapan pemasukan memang hanya dari kutipan pengunjung. Celakanya. pengunjung yang hanya datang pada saat lebaran saja, itu pun didominasi anak‑anak sekitar kampung. Selain masalah renovasi, jalan masuk ke lokasi juga rusak dan kumuhnya perkampungan bukan pemandangan yang layak untuk dijual ke turis domestik, apalagi asing.
Renovasi terakhir yang dilakukan pemerintah hanya tahun 1980/1981 dengan biaya Rp 234 juta, saat masih dikelola Kanwil Depdikbud Sumut. Setelah diserahkan kepada Pemda Asahan sejak 14 September 1990, praktis tidak ada perbaikan apapun lagi. Padahal upaya melestarikan istana sangat penting mengingat sejarah dan nilai budaya yang dikandungnya.
Istana Lima Laras tak lagi dihuni. Malam hari, tak ada penerangan berarti. Halaman istana juga ditumbuhi semak yang tingginya bisa mencapai satu meter lebih. Karena kondisinya itu, makanya pernah muncul di surat kabar berita yang memprihatinkan, istana Lima Laras menjadi tempat bermain judi. Tragis!
Sumber: 
  1. http://kbaa.blogspot.com/2009/06/istana-niat-lima-laras.html
  2. Wikipedia Indonesia
  3. Buku batu bara
Diperbaiki oleh firdaus

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Lady Gaga, Salman Khan